A. KHITBAH (Peminangan)
A.
Hadits Ahmad dan Abu Daud
1.
وَعَنْ جَابِرٍرضي الله عنه قَالَ : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم, إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ اْلمَرْأَةَ, فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ
مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا, فَالْيَفْعَلْ. رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَّبُوْ
دَاوُدَ, وَرِجَا لُهُ ثِقَاتٌ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَا كِمُ.
“Dari Jabir r.a., dia berkata, bersabda Rasulullah Saw.: “Apabila
seseorang diantara kalian meminang seorang wanita, sekiranya ia dapat melihat
bagian tubuhnya yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia lakukan.” (HR Ahmad, Abu Daud. Para perawinya tsiqat (kuat). Dan
di nilai shahih oleh Al-Hakim).
2.
Asbab al-Wurud
Dalam riwayat al-Hakim, Jabir r.a., berkata:”Maka saya melamar
seorang perempuan, lalu saya bersembunyi supaya dapat melihat sesuatu darinya
yang mendorong saya untuk menikahinya. “Hadits ini di riwayatkan juga oleh
Ahmad, di dalamnya dijelaskan bahwa wanita itu berasal dari Bani Salamah.
“Kemudian saya menikahinya.” Lihat Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,
terjemahan Irfan Maulana Hakim.
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di
kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh
dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak
tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk
menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka
dan kedua tangannya.
3.
Penjelasan hadits
Jika seseorang meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia
melihatnya sehingga ia akan merasakan ketertarikan untuk menikahinya. Jadi
laki-laki di sunnahkan meminang wanita yang dikawini dengan melihat wajah dan
kedua telapak tangannya. Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang
dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
4. Kandungan hadits
Supaya
tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, dan tidak terjadi pertikaian antara
keduanya. Dan tidak ada unsur paksaan ketika nenikah karena sudah saling tau
satu sama lain.
5.
Kualitas dan kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, para perawinya tsiqat (kuat), tidak di temukan syadz dan illat, dan
terdapat dalam kitab Al-Hakim.
Takhrij hadits (kuantitas)
Hadits ini di riwayatkan oleh Ahmad (3/334 dan 360), dan Abu Daud
(2082). Pada sanadnya ada seorang yang di perdebatkan namanya sebagaimana
dijelaskan oleh Ibn al-Qathan dalam bayan al-wahm wa al-ilham (4/429) dan
Albani dalam al-silsilah al-shahihah (1/155).[1]
6.
Keterkaitan degan Al-qur’an
وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ
النِّسَاءِ اَوْاَكْنَتُمْ فِى اَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
وَلَكِن لَّاتُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا اِلَّا اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
وَلَاتَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الُكِتَابُ
اَجَلَهُ وَاعْلَمْوَا اَنَّ
اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ غَفُورٌ
حَلِيْمٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka
dengan secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang
ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah,
sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun”.(QS.Al-baqarah : 235)[2]
B.
Hadits Bukhari dan Muslim
1. وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُول اللهِ
صلى الله عليه وسلم لاَ يَخْطُبْ بَعْضثكثمْ عَلَى خِطْبَةِ أَ خِيْهِ, حَتَّى
يَتْرُكَ اَلْخَا طِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْ ذَنَ لَهُ اَلْخَا طِبُ. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ, وَالَّلفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.
“Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata, bersabda Rasulullah Saw.:
“Janganlah sebagian orang diantara kalian meminang atas pinangan saudaramu,
sehingga peminang pertama meninggalkan sebelumnya atau ia telah
mengizinkannya.”
(HR Bukhari – Muslim. Lafaz hadits ini milik Bukhari).
2. Asbab
al-Wurud
Kami tidak
menemukan Asbal al-Wurud dari hadits di atas.
3. Penjelasan hadits
Di
dalam Islam seseorang perempuan yang telah di lamar dengan arti telah di minta
secara resmi oleh laki-laki kepada orang tua perempuan itu dan telah ada
persetujuan dari pihak perempuan maupun orang tuanya untuk menerima laki-laki
itu sebagai calon suaminya, maka perempuan tersebut tidak boleh di lamar oleh
laki-laki lain. Haram hukumnya meminang (melamar) wanita yang sudah dilamar
oleh orang lain, sampai ia membatalkan lamarannya atau mengizinkannya.[3]
4. Kandungan hadits
Seseorang yang meminang pinangan
saudaranya itu bisa mengakibatkan bahwa ia telah menyerang hak dan menyakiti
hati peminang pertama, dan serta bisa memecah belah hubungan kekeluargaan dan
menganggu ketentraman dari saudaranya. Pada dasarnya, khitbah hanyalah janji
untuk menikah, bukan akad pernikahan itu sendiri. Pembatalan khitbah merupakan
hak dari tiap-tiap pihak yang saling berjanji. Tidak ada konsekuensi hukum bagi
mereka yang membatalkannya. Tetapi Islam menggolongkan pembatalan itu ke dalam
golongan sifat munafik, kecuali jika dalam pembatalan itu ada alasan dan
kepentingan yang cukup mendesak, yang menjadikan mereka tidak dapat menepati
janji.[4]
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari (5142) dan Muslim
(2/1032).[5]
6. Keterkaitan
dengan Al-qur’an
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ
أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُ
ونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا
أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ
حَتَّىٰ يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS. Al-Baqarah: 235)[6]
C.
Hadits Tirmidzi
1. إِذَا
جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا
تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.
2. Asbab
al-Wurud
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar,
ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh
suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang
Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku
mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan
aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku
dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar
melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika
engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu
Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap
Abu Bakar daripada kepada‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah.
Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala
engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar
men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang
menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah
telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya
aku akan menerima tawaranmu.
3.
Penjelasan hadits
Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari
wanita muslimah ideal sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka demikian pula
dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih
yang akan dinikahkan dengan anaknya. Boleh jika seorang wali menawarkan puteri
atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.
4. Kandungan hadits
Mengangkat
derajat keluarga, hubungan yang baik antara mertua dan menantu bisa terjalin.
Bisa menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap istri/suami karena bisa saling
menjaga hati.
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits : Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di
temukan syadz dan illat.
Takhrij
hadits (Kuantitas) :
Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu. Hadits hasan
lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).[7]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
اَلْخـَبِيـْثــاَتُ لِلْخَبِيْثـِيْنَ وَ اْلخَبِيْثُــوْنَ لِلْخَبِيْثاَتِ وَ الطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ
“ Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik.” (Qs. An Nur: 26).[8]
B. NIKAH
A. Hadits Bukhari dan Muslim
1.عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
مَسْعُودٍ قاَلَ : قاَلَ لَنَا رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم: ( ياَ مَعْثَرَ
الثَّبَا, مَن اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَا ءَة فَلْيَتَزَوَّجْ
فَاِ نَّهُ أَغْضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ
وِ جَاءٌ ). مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
Dari
Abdullah bin Mas’ud dia berkata, bersabda Rasulullah Saw. Kepada kami: ”Wahai
pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka
menikahlah, karena menikah itu lebih menahan pandangan mata dan lebih menjaga
kemaluan. Barang siapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa
itu merupakan penawar syahwat baginya,”(HR Bukhari-Muslim).[9]
2.
Asbab al-Wurud
Imam Bukhari dan Nasa'i meriwayatkan dari Al-A'masy, dia berkata: 'Ammarah
dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama 'Alqamah pernah mendatangi
Abdullah (Ibnu Mas'ud), lalu beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: Dahulu kami adalah
para pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda, "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara
kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, dst".
Dalam
riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku ('Alqamah) dan Al Aswad
pernah mendatangi Abdullah bin Mas'ud. Beliau (Ibnu Mas'ud) berkata: "Pada saat itu aku masih
seorang pemuda". Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah beliau
menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku menikah.[10]
3.
Penjelasan hadits
Nikah merupakan perintah bagi yang telah
mampu untuk menikah, dan bagi yang belum mampu hendaknya ia berpuasa, untuk
mengendalikan nafsunya. Hadits ini menganjurkan kepada setiap orang supaya
menikah, karena dengan pernikahan itu ada beberapa hal yang dapat memelihara
dirinya dari perbuatan zina. Pertama, dengan pernikahan itu seseorang dapat
menjaga pandangannya dari hal-hal yang terlarang, dan kedua, dengan pernikahan
itu ia dapat menyalurkan tuntutan biologisnya secara halal, sehingga memelihara
dirinya dari perbuatan zina. Adapun bagi seseorang yang belum mampu membiayai
hidup berkeluarga, maka Rasulullah Saw menganjurkan jalan keluar dengan puasa,
yaitu puasa sunnah yang telah di atur syariat islam. Puasa yang di lakukan
dengan sesungguhnya dan dengan niat ikhlas mencari ridha Allah, akan dapat
mencegah dorongan nafsu syahwat yang tidak baik, yakni nafsu untuk melakukan
hubungan biologis di luar pernikahan yang di sahkan oleh islam. Di samping itu,
dengan pernikahan seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat mengikat
hubungan percintaan secara baik, penuh barakah, dan rasa ketenteraman.[11]
4.
Kandungan hadits
Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting
dalam pernikahan, yaitu "karena ia lebih mampu menjaga pandangan dan lebih
mampu memelihara kemaluan". Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi
umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya. Kemudian hadits tersebut juga
memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan
untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena hadits tersebut melewati jalur yang paling valid
secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman bin Mihran Al A'masy
dari Ibrahim An-Nakha'i dari 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i dari Abdullah bin
Mas'ud. Silsilah sanad tersebut dinilai sebagai sanad terbaik, seperti silsilah
sanad Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar.[12]
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits
ini di riwayatkan oleh Bukhari (5066) dan Muslim (2/1019/1020).[13]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
وَ مِنْ ايتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لّتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَ جَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةً،
اِنَّ فِيْ ذلِكَ لايتٍ لّقَوْمٍ
يَّتَفَكَّرُوْنَ.
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Ar-Rum 21).[14]
B. Hadits Bukhari dan Muslim
1.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّا صٍ رضي الله عنه قَالَ :
(( رَدَّ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم على عُثْمَا نَ بْنِ مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ
وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لا ختَصَيْنَ )) . مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
Dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a.,
dia berkata: “Rasulullah Saw menolak Utsman bin Madz’un untuk hidup membujang
(tabattul). Sekiranya beliau mengizinkannya, tentulah kami telah mengebiri diri
kami.”(HR
Bukhari-Muslim)
2.
Asbab
al-Wurud
Kami tidak menemukan Asbal
al-Wurud dari hadits di atas.
3.
Penjelasan
hadits
Tabattul yaitu tidak mau menikahi wanita
karena hanya ingin mengkhususkan diri dalam ibadah. Allah telah menjadikan
manusia berpasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya pengembangbiakan dan
berketurunan, maka dengan sendirinya membujang berlawanan dengan tugas fitrah
yang di bebankan kepada manusia. Allah jadikan bumi untuk menjadi tempat pengembangbiakan
manusia, yang berarti bahwa manusia yang hidup di atas bumi bertanggung jawab
untuk melestarikan keturunan dan pengembangbiakan sampai pada saat Allah
menetapkan terjadinya kiamat kelak. Oleh karena itu, islam mengharuskan kepada
setiap orang, selama ia mampu dan sehat, untuk menikah, dan melarang membujang.
4.
Kandungan hadits
Hidup
membujang di larang karena bisa memicu tumbuhnya syahwat, karena menikah dapat
meneruskan keturunan. Dan menikah juga merupakan sunnah Rasul.
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits : sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits
ini di riwayatkan oleh Bukhari Muslim (Kitab Nikah, Hadis No. 299 dalam kitab
Umdah al-Ahkam).[15]
6.
Keterkaitan dengan
Al-qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا
طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS. Al Maa’idah: 87).[16]
C. Hadits Bukhari dan Muslim
1. وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي
الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى
عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ ,
وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik r.a bahwa
Nabi Muhammad SAW setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda:
"Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan.
Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq
Alaihi.( HR Bukhari-Muslim).
2. Asbab al-Wurud
Tiga orang laki-laki datang ke rumah istri Rosulullah
SAW. Untuk menanyakan masalah ibadah beliau. Ketika diceritakan kepada mereka,
mereka seakan-akan bertanya-tanya. Lalu mereka berkata, “dimana posisi kami
dibandingkan Rosulullah? Padahal beliau telah diampuni segala dosa yang telah
lampau.” Maka salah seorang diantara mereka berkata, “adapun saya akan sholat
malam terus menerus.” Orang kedua berkata, “saya akan berpuasa sepanjang tahun
dan tidak akan berbuka.” Orang ketiga berkata, “saya akan menjauhi dan tidak
akan menikah.” Maka Rosulullah datang kepada mereka, lalu beliau bersabda,
“kalian berkata begini dan begitu.” Demi Allah, Akulah yang paling takut kepada
Allah, tetapi aku sholat dan tidur.
3.
Penjelasan hadits
Allah
telah menjadikan manusia berpasang-pasangan, dengan tugas untuk melakukan upaya
pengembangbiakan dan berketurunan. Allah jadikan bumi untuk menjadi tempat
pengembangbiakan manusia, yang berarti bahwa manusia yang hidup di atas bumi
bertanggung jawab untuk melestarikan keturunan. Pernikahan merupakan Sunnah
Rosulullah SAW. Menikah adalah sunnah rosul, jadi barang siapa yang sudah
menikah berarti sudah mengikuti sunnah rosul.
4. Kandungan hadits
Menikah
adalah perintah agama. Allah menganjurkan untuk menikah, karena dengan adanya
menikah akan melahirkan keturunan yang baik dan sah. Dan tidak akan terjerumus
ke lubang dosa yang bernama zina. Menikah merupakan sunnah rosul, jadi barang
siapa yang tidak ingin menikah maka mereka bukan termasuk Sunnah Nabi Muhammad
SAW.
5. Kualitas dan Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Kitab Nikah,
Hadits No. 994 dalam Kitab Bulughul Marom).[17]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن
يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَٰلًۭا مُّبِينًۭا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan
RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang
lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata.” (QS. Al
Ahzaab (33):36)[18]
C. THALAQ
A. Hadits Bukhari dan Muslim
1. وَعَنْ عَا ئِثَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, قَا لَتْ : طَلَّقَ رَجُلٌ اِمْرَأَتَهُ ثَلَاثاً, فَتَزَوَّ
جَهَا رَجُلٌ, ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أّنْ يَدْخُلَ بِهَا, فَأَ رَادَ زَوْ
جُهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا, فَسُئِلَ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ, فَقَالَ :
"لَا, حَتَّى
يَذُوْقَ اَ لْاَ خَرُ مِنْ عُسَيْلَتِهَا مَا ذَاقَ اَلْأَوَّلُ. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ, وَالَّلفْظُ لِمُسْلِمٍ.
Dari Aisyah r.a., “dia berkata,
seseorang telah menthalaq istrinya dengan thalaq tiga, lalu seorang laki-laki
lain menikahinya, kemudian dia menthalaqnya sebelum di setubuhinya, lalu
(mantan) suaminya yang pertama ingin menikahinya kembali. Hal tersebut di
tanyakan kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menjawab, ‘Tidak boleh, sampai
suami kedua merasakan sari madunya wanita itu sebagaimana yang telah dirasakan
oleh suaminya yang pertama’. (HR Bukhari-Muslim, redaksi hadits ini oleh
Muslim).
2. Asbab al-Wurud
Al-Jama’ah
meriwayatkan dari Aisyah r.a., dia berkata, “Istri Rifa’ah al-Qurazhi datang
kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, ‘semula saya adalah istri Rifa’ah, lalu
ia menthalaq saya. Selesai iddah, saya menikah lagi dengan Abdurrahman bin al-Zubair,
tetapi kemaluannya hanya seperti ujung pakaian.’ Maka Rasulullah Saw bersabda ,
‘Apakah kamu akan kembali kepada Rifa’ah? Tidak, sebelum kamu merasakan madunya
dan ia (Abdurrahman) merasakan madumu (bersenggama).
3. Penjelasan hadits
Suami
tidak boleh menikahi istrinya yang telah di thalaq tiga, meskipun dengan
akad nikah baru, kecuali jika istri itu sudah pernah di nikahi oleh laki-laki
lain dan telah disetubuhinya.
4. Kandungan hadits
Thalaq tiga itu sebenarnya untuk
memperjelas status perkawinan, dan untuk melihat keseriusan dalam berumah
tangga dari kedua belah pihak.
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits ini di riwayatkan oleh Bikhari (5260 dan 5265) dan Muslim
(2/1055-1057).[19]
6.
Keterkaitan dengan
Al-qur’an
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ
لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”( Al-baqarah: 230)[20]
B. Hadits Bukhari
1. عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَقَا لَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ! ثَا بِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا
أَعِيْبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِيْنِ, وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِيْ
اَلْإِسْلَامِ,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " أَتَرُدِّ
يْنَ عَلَيْهِ حَدِ يقَتَهُ ؟ ", قَالَتْ : نَعَمْ, قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم " اِقْبَلِ اَلْحَدِ
يقَتَ, وَطَلَّقْهَا تَطْلِيقَةً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ :
وَأَ مَرَهُ بِطَلَا قِهَا.
Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa istri
Tsabit bin Qais mendatangi Nabi Saw., dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak
mencela akhlaq dan agama Tsabit bin Qais. Tetapi aku tidak suka kekafiran dalam
islam’. Rasulullah Saw. bertanya, ‘Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya?’ Ia
menjawab, ‘Ya’, Rasulullah bersabda (kepada Tsabit bin Qais), ‘Terimalah kebun
itu, dan ceraikanlah ia.”Disebutkan dalam riwayat Bukhari yang lain,”Rasulullah
Saw menyuruh Tsabit untuk menceraikan istrinya.”
2. Asbab al-Wurud
Kami tidak menemukan Asbal al-Wurud dari hadits di atas.
3. Penjelasan hadits
Khulu’
adalah istri melepaskan ikatan perkawinan dengan suaminya, dengan bersedia
mengembalikan maskawin. Khulu’ di sebut juga dengan cerai gugat atau thalaq
tebus. Istri dapat menggugat cerai suaminya (khulu’) ke pengadilan, dan ia
(istri) berkewajiban membayar iwadh (uang pengganti).
4. Kandungan hadits
Jika dari pihak perempuan memang serius
untuk menggugat cerai karena suatu alasan tertentu, dan dia bersedia
mengembalikan maskawin itu boleh. Karena dia merasa dengan mengembalikan
maskawin tersebut bisa membantu mengurangi rasa bersalah dan mengembalikan atas
haknya ketika masih menjadi istrinya dulu, suaminya pun menyetujuinya, maka
sah-sah saja. Karena mungkin ada alasan yang kuat atas keputusannya dan itu
yang terbaik.
5. Kualitas dan Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari (5024).[21]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ
بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا
تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(Al-baqarah: 229).[22]
C. Hadits Bukhari dan Muslim
1. وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ طَلَّقَ اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ
رسول الله صلى الله عليه وسلم فَسَأَ لَ عُمَرُ رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ
ذَلِكَ ؟ فَقَا لَ : "مُرْهُ فَلْيُرَا جِعْهَا,
ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ, ثُمَّ
تَخِيضَ, ثُمَّ تَطْهُرَ, ثُمَّ إِنَّ ثَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ, وَإِنْ ثَاءَ
طَلَّقَ بَعْدَ أَنْ
يَمَسَّ, فَتِلْكَ اّلْعِدَّةُ اَلَّتِي أَمَرَ
اَللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا اَلنِّسَاءُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Dari Abdullah bin Umar r.a., bahwa ia menthalaq istrinya ketika
istrinya sedang haid. Lalu Umar memberitahukan hal itu kepada Rasulullah Saw.
Maka Rasulullah Saw. menjadi marah karenanya, kemudian beliau bersabda,
‘Hendaklah ia merujuknya lagi kemudian menahannya hingga istrinya suci,
kemudian ia haid dan suci lagi. Jika ia berketetapan untuk menthalaqnya,
hendaklah ia menthalaqnya sebelum ia menyetubuhinya. Itulah iddah seperti yang
diperinyahkan Allah Azza wa Jalla.”(HR Bukhari-Muslim).[23]
2. Asbab al-Wurud
Terjadi
pada kasus
‘Abd Allah ibn Umar yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Peristiwa ini
dilaporkan ‘Umar (bapaknya) kepada Nabi Muhammad saw. Mendengar laporan itu,
Nabi saw. tampaknya “marah” dan memerintahkan ‘Abd Allah untuk meruju’ istrinya
kembali dan bila telah suci, maka biarkan ia sampai haid, dan bila suci lagi,
maka janganlah “disentuh” sampai ia diceraikan, atau tetap dipertahank.an (tidah diceraikan). Demikianlah
‘iddah yang diperintahkan Allah dalam menceraikan istri.[24]
3. Penjelasan hadits
Pengharaman
thalaq pada waktu haid dan yang demikian termasuk thalaq bid’ah yang tidak
sejalan dengan perintah Rasulullah Saw. Perintah untuk merujuk istri jika suami
menthalaqnya pada masa haid, lalu menahannya hingga suci, kemudian haid dan
suci lagi. Sabda beliau, “sebelum menyetubuhinya”, merupakan dalil bahwa suami
tidak boleh menthalaq istri pada saat suci dan tidak menyetubuhinya semasa
suci.
4. Kandungan hadits
Talak yang dijatuhkan pada masa ini akan
memperpanjang masa haid bagi seorang wanita, sebab haid yang terjadi pada saat
ia diceraikan tidak dihitung dalam masa iddah. Imam Syafi'i menjelaskan bahwa
menceraikan istri pada masa ini diharamkan sebab Allah memerintahkan untuk
menceraikan istri dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan dhoror (bahaya). Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa mentalak isti
dalam keadaan haid itu adalah suatu perbuatan dosa. Oleh karena itu, untuk
dapat terlepas dari dosa tipe ini, caranya hanya dengan merujuk kembali
istrinya itu.
5. Kualitas dan Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (5215) dan Muslim
(2/1093).[25]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا
اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ
بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ
ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”(QS. At Thalaq: 1).[26]
D. RUJUK
A. Hadits Abu Daud
1. عَنْ عِمْرَانَ
بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ,
ثُمَّ يُرَاجِعُ, وَ لاَ يُشْهِدُ ؟ فَقَالَ : اَشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا, وَ
عَلَى رَجْعَتِهَا. رَوَاهُ اَبُو دَاوُدَ هَكَذَا مَوْقُوْفًا، وَ سَنَدُهُ صَحِيْحٌ
.
“Dari Imran bin Husain r.a., bahwasanya dia di tanya
tentang laki-laki yang mencerai istrinya, kemudian merujuknya lagi tanpa
menghadirkan saksi. Ia berkata,‘Persaksikanlah atas penceraian dan atas
perujukannya.”(HR Abu Daud secara mauquf, dan sanadnya shahih).
2. Asbab al-Wurud
Kami tidak menemukan Asbal al-Wurud dari hadits di atas.
3. Penjelasan hadits
Para
suami telah sepakat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri yang telah dithalaq
raj’i selama istri masih dalam iddahnya dengan tanpa memerlukan izin istri atau
walinya. Merujuk istri wajibkah persaksian? Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya,
mengatakan wajib.
4. Kandungan hadits
Jika
pada saat rujuk wajib hukumnya ada persaksian wali, karena rujuk sama dengan
pada saat aqad nikah, dan di situ wajib di saksikan oleh wali. Sebagai lambang
rasa hormat, izin, dan ridho dari wali.
5. Kualitas dan
Kuantitas hadits
Kualitas hadits :
Shahih, karena sanadnya bersambung, tidak di temukan syadz dan
illat.
Takhrij hadits (Kuantitas) :
Hadis
ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2186) dan Ibnu Majah (2015) dengan sanad yang
kuat. Ibnu Abdul Hadi menyebutkan dalam al-muharrarr (2/573), para perawinya
terpercaya dan di nilai shahih. Al-Bani dalam al-Irwa’ (7/160) menyebutkan
bahwa sanadnya shahih dengan kriteria Muslim.[27]
6. Keterkaitan dengan Al-qur’an
وَ اْلمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ
اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ
اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا
اِصْلاَحًا
”Wanita-wanita yang dithalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.”(QS. Al-Baqarah : 228).[28]
[4] http://eprints.walisongo.ac.id/3092/5/42111076_Bab4.pdf, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016 Pukul 11.00
[7] http://www.walimah.info/pra-nikah/bagaimana-hukum-tata-cara-melakukan-khitbah-sesuai-syariah-islam/, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016 Pukul 11.00
[10] http://www.rumahtaaruf.com/p/kitab-pernikahan.html, diakses
pada Tanggal 27 Februari 2016 Pukul 11.00
[12] http://www.rumahtaaruf.com/p/kitab-pernikahan.html, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016 Pukul 11.00
[17] http://rohmahsyaidatur.blogspot.co.id/2015/03/munahakat-1-pernikahan-dan-pinangan.html, diakses pada Tanggal 27 Februari
2016 Pukul 11.00
[24] https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/10/menceraikan-istri-dalam-keadaan-haid/, diakses pada
Tanggal 27 Februari 2016 Pukul 11.00
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!